Singkatan 'KKN' adalah salah satu singkatan yang akrab
bagi masyarakat Indonesia. Sering kalau ada protes anti-pemerintah, singkatan
KKN ini didengar dan diteriakkan oleh para demonstran atau ditulis di atas
spanduk-spanduk. KKN ini mengacu ke korupsi, kolusi dan nepotisme dan - yang
banyak mencemaskan mayoritas penduduk Indonesia - telah menjadi bagian
intrinsik atau sudah mendarah-daging di pemerintah Indonesia, mungkin mencapai
puncaknya selama rezim Orde Baru Presiden Suharto (1965-1998).
Masalah korupsi politik di Indonesia terus menjadi
berita utama (headline) hampir setiap hari di media Indonesia dan menimbulkan
banyak perdebatan panas dan diskusi sengit. Di kalangan akademik para
cendekiawan telah secara terus-menerus mencari jawaban atas pertanyaan apakah
korupsi ini sudah memiliki akarnya di masyarakat tradisional pra-kolonial, zaman penjajahan Belanda, pendudukan Jepang yang relatif
singkat (1942-1945) atau pemerintah Indonesia yang merdeka berikutnya. Meskipun
demikian, jawaban tegas belum ditemukan. Untuk sementara harus diterima bahwa
korupsi terjadi dalam domain politik, hukum dan korporasi di Indonesia
(meskipun ada beberapa tanda, yang dibahas di bawah, yang mengarah ke perbaikan
situasi ini).
Kerangka historis
korupsi di Indonesia
Meskipun terdapat banyak contoh korupsi dalam sejarah
sebelumnya di Indonesia, kita ambil sebagai titik awal kita rezim Orde Baru
Presiden Suharto (1965-1998), yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi mengesankan yang cepat dan berkelanjutan (dengan
Produk Nasional Bruto rata-rata 6.7 persen per tahun antara tahun 1965-1996),
tapi juga terkenal karena sifat korupnya. Suharto memanfaatkan sistem patronase
untuk mendapatkan loyalitas bawahannya, anggota elit nasional dan kritikus
terkemuka. Dalam hal pertukaran peluang bisnis atau posisi politik Suharto bisa
mengandalkan dukungan mereka. Dengan Angkatan Bersenjata (termasuk aparat intelijen)
dan pendapatan sumber daya nasional sangat besar (yang berasal dari produksi
minyak pada 1970-an) yang dia gunakan, dia meraih kedudukan puncak dalam sistem
politik dan ekonomi nasional, menyerupai kekuatan patrimonial penguasa
tradisional di masa pra-kolonial dulu.
Dalam membuat kebijakan ekonomi, Suharto mengandalkan
saran dan dukungan dari sekelompok kecil orang kepercayaan di sekitarnya.
Kelompok ini terdiri dari tiga kategori: para teknokrat yang dilatih di Amerika
Serikat (USA-trained technocrats),
nasionalis ekonomi (yang mendukung gagasan peranan besar pemerintah dalam
perekonomian) dan kroni kapitalis (yang terdiri dari anggota keluarga dan
beberapa konglomerat etnis Cina kaya). Pada saat itu, semua kategori ini
dituduh korup namun sebagian besar penekanan mengarah ke lingkaran kecil kroni
kapitalis (terutama anak-anak Suharto) yang merupakan penerima manfaat utama
dari skema privatisasi negara - maka mereka tidak disukai oleh pengusaha
nasional dan masyarakat - dan sering menjalankan monopoli bisnis besar yang
beroperasi dengan sedikit pengawasan atau pemantauan.
Salah satu karakteristik penting korupsi selama Orde
Baru Suharto adalah korupsi tersebut agak terpusat dan dapat diprediksi.
Investor dan pengusaha bisa memprediksi jumlah uang yang harus mereka sisihkan
untuk biaya-biaya 'tambahan' dan mereka mengetahui mana orang-orang yang akan
perlu mereka suap. Tapi juga
ada taktik untuk memasukkan kroni Suharto dalam kegiatan bisnis untuk
mengurangi ketidakpastian yang disebabkan oleh birokrasi yang amat ruwet. Pola
yang sama ini ada di tingkat lokal di mana gubernur dan komandan militer
setempat menikmati hak istimewa yang sama seperti di pusat namun selalu sadar
bisa kena hukuman dari pusat jika mereka mendorongnya (sogokan) terlalu jauh.
Dengan era baru Reformasi, yang dimulai setelah jatuhnya Suharto pada tahun
1998, situasi ini berubah.
Desentralisasi
Korupsi Indonesia
Situasi ini berubah dengan drastis waktu setelah
lengsernya Suharto pada 1998 program desentralisasi daerah yang ambisius
dimulai pada tahun 2001 yang meramalkan pemindahan otonomi administrasi dari
Jakarta ke kabupaten (bukan ke provinsi). Program baru ini sejalan dengan
tuntutan masyarakat tetapi memiliki efek samping negatif pada pola distribusi
korupsi. Penyuapan tidak lagi 'dikoordinasikan' seperti yang telah terjadi di
masa lalu tapi menjadi terpecah-pecah dan tidak jelas. Desentralisasi berarti
bahwa pemerintah daerah mulai membuat peraturan daerah baru (sering tidak
dirancang dengan ketat) yang memungkinkan para pejabat lainnya dari berbagai
tingkat pemerintah dan lembaga lainnya untuk berbaur dan meminta tambahan
keuangan.
Menyadari kebutuhan mendesak untuk mengatasi korupsi
(karena merugikan investasi dan umumnya mendorong adanya ketidakadilan
terus-menerus dalam masyarakat), sebuah badan pemerintah baru didirikan pada
tahun 2003. Lembaga pemerintah ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (disingkat
KPK), ditugaskan untuk membebaskan Indonesia dari korupsi dengan menyelidiki
dan mengusut kasus-kasus korupsi serta memantau tata kelola negara (yang
menerima kekuasaan yang luas).
Namun, opini-opini mengenai prestasi KPK masih
diperdebatkan. Para pengkritik menekankan bahwa KPK lebih fokus untuk menangani
tokoh profil yang lebih rendah (tokoh kecil dan tidak penting), meskipun selama
beberapa tahun terakhir, terutama menjelang akhirnya pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono, ada beberapa kasus tokoh profil tinggi seperti menteri,
pejabat kepolisian berpangkat tinggi, hakim dan bendahara partai dari Partai
Demokrat-nya Yudhoyono yang telah diciduk. Sebagian keberhasilan dan keberanian
KPK ini telah memicu perlawanan - sebagian besar dari orang-orang yang pernah
diusut atau diinterogasi - mengklaim bahwa KPK sendiri adalah lembaga yang
korup. Dalam beberapa tahun terakhir sejumlah skandal telah muncul di mana
anggota KPK - konon - dijebak oleh petugas polisi senior dan ditangkap untuk
melemahkan kewenangan KPK.
Korupsi selama Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Selama pemilu presiden 2004 dan 2014, Presiden
Yudhoyono memprofilkan dirinya sebagai orang yang mengabdi dan bertekad
mengatasi korupsi di Indonesia, khususnya mengenai korupsi di kalangan
pemerintah. Hal ini membuatnya sangat populer sekitar waktu pemilihan umum
tahun 2009. Namun, merajalelanya korupsi politik dan beberapa kasus gratifikasi
pejabat tinggi dalam pemerintahan telah menyebabkan peringkat-nya merosot tajam
setelah tahun 2010.
Pukulan lain terjadi pada wibawa Presiden Yudhoyono
adalah masuknya Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Indonesia dari tahun
2005 sampai tahun 2010. Sri Mulyani, yang memiliki reputasi integritas tinggi
(meskipun sedikit dinodai oleh skandal Bank Century), ditugasi untuk
mereformasi kantor pajak dan bea cukai yang korup di Indonesia. Dia cukup
sukses dan bisa mengandalkan dukungan dari banyak orang Indonesia. Tetapi
kinerjanya juga menciptakan musuh. Pada Mei 2010 ia meninggalkan politik
Indonesia untuk menjadi Direktur Pelaksana di Grup Bank Dunia. Meskipun
demikian, spekulasi yang menyebar luas, adalah bahwa pengunduran dirinya
disebabkan tekanan politik dari pengusaha yang memiliki koneksi politik yang
tinggi. Secara khusus, Grup Bakrie sering disebutkan dalam media Indonesia
dalam hubungan ini (waktu itu Aburizal Bakrie jadi ketua partai Golkar, anggota
koalisi pemerintahan Yudhoyono). Kritikus menyatakan bahwa Yudhoyono seharusnya
mendukung menteri keuangan ini.
Selain itu, beberapa kasus korupsi - yang
melibatkan anggota partai Yudhoyono dan beberap menteri - terjadi menjelang
akhirnya pemerintahannya dan ini sangat merusak reputasi Partai Demokrat (PD)
maupun Yudhoyono sendiri (yang dianggap oleh beberapa pihak sebagai pemimpin
yang lemah karena munculnya skandal korupsi dalam partainya dan kabinetnya).
Dalam dua tahun terakhir kepresidenannya Yudhoyono, Menteri Pemuda &
Olahraga (Andi Mallarangeng) dan Menteri Agama (Suryadharma Ali) mengundurkan
diri setelah menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Ini berarti bahwa setelah
awal yang menjanjikan, munculnya banyak kasus korupsi profil tinggi menjelang
akhir masa jabatannya yang kedua, Yudhoyono tidak akan dikenang sebagai pejuang
korupsi besar.
Korupsi selama Pemerintahan Joko Widodo
Sejak 2014 Joko Widodo memimpin bangsa Indonesia.
Sama dengan presiden sebelumnya dan para calon presiden sebelumnya Widodo
menyerukan pertempuran melawan korupsi di negara ini, mendesak kebutuhan untuk
sebuah 'revolusi mental' yang mencakup perhentian untuk keserakahan dan korupsi
di masyarakat. Ini adalah tugas yang susah tapi Widodo telah melakukan beberapa
upaya penting, misalnya dengan memindahkan banyak layanan pemerintah menjadi
layanan online (menyiratkan birokrat 'lapar akan disuap' memiliki kesempatan
lebih sedikit untuk mendapatkan uang tambahan).
Sejauh ini, Presiden Widodo dapat menikmati citra
sebagai orang bersih dari korupsi (meskipun ia dikritik karena mendukung calon
kepala polisi yang pernah menjadi tersangka dalam kasus korupsi). Juga dalam
kabinetnya belum terjadi skandal terkait korupsi. Namun, Widodo harus tetap
berhati-hati untuk tidak mengalami nasib yang sama seperti pendahulunya.
Perkembangan Positif dalam Perjuangan Indonesia Melawan Korupsi
Meskipun sebagian besar gambarannya negatif, ada
beberapa tanda-tanda positif. Pertama-tama perlu disebutkan bahwa ada dorongan
besar dari rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi di Indonesia dan media
yang bebas memberikan banyak ruang untuk menyampaikan suara mereka pada skala
nasional (meskipun beberapa institusi media - yang dimiliki oleh politisi atau
pengusaha - memiliki agendanya sendiri untuk melakukan hal ini). Namun dorongan
rakyat untuk memberantas korupsi berarti bahwa bersikap anti-korupsi sebenarnya
bisa menjadi vote-gainer (pendulang suara) yang penting bagi politisi
yang bercita-cita tinggi. Terlibat atau disebutkan dalam kasus korupsi
benar-benar merusak karir karena dukungan rakyat akan merosot drastis. Efek
samping negatif (bagi perekonomian negara) dari pengawasan publik ini yaitu
pejabat pemerintah saat ini sangat berhati-hati dan ragu-ragu untuk mengucurkan
alokasi anggaran pemerintahan mereka, takut menjadi korban dalam skandal
korupsi. Perilaku berhati-hati ini bisa disebut sebagai keberhasilan pengaruh
KPK yang memantau aliran uang, tetapi juga menyebabkan belanja pemerintah
lambat.
Transparency International, institusi
non-partisan yang berbasis di Berlin (Jerman) menerbitkan Indeks Persepsi
Korupsi tahunan (berdasarkan polling) yang menilai "sejauh mana korupsi
dianggap terjadi di kalangan pejabat publik dan politisi" di semua negara
seluruh dunia. Indeks Persepsi Korupsi Tahunan ini menggunakan skala dari satu
sampai sepuluh. Semakin tinggi hasilnya, semakin sedikit (dianggap) korupsi
yang terjadi. Dalam daftar terbaru mereka (2015) Indonesia menempati peringkat
88 (dari total 175 negara). Meskipun demikian, perlu ditekankan bahwa tidak ada
metode yang akurat 100 persen untuk mengukur korupsi karena sifat korupsi
(sering tersembunyi untuk umum). Maka angka-angka di bawah ini hanya
menunjukkan tingkat persepsi korupsi oleh para pemilih yang berpartisipasi
dalam jajak pendapat dari negara tertentu. Namun karena masyarakat
biasanya memiliki pemahaman yang baik tentang apa yang terjadi di
negeranya, angka-angka ini mengindikasikan sesuatu hal yang menarik.
Sumber :
http://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/risiko/korupsi/item235
Tidak ada komentar:
Posting Komentar